Jumat, 07 Januari 2011

DARI PESANTREN HINGGA MADRASAH DAN SEKOLAH


1.      Asal Usul Sistem Pendidikan yang Dualistis
Dengan surat keputusan tanggal 8 Maret 1819, Gubernur Jendral Van der Capellan memerintahkan mengadakan suatu penelitian tentang pendidikan masyarakat Jawa, dengan tujuan meningkatkan kemampuan membaca dan menulis di kalangan mereka.
Sekitar seabad kemudian, Brugmans membicarakan penelitian tersebut dan menduga bahwa Gubernur Jendral  Van der Cappelen hendak melaksanakan suatu jenis pendidikan yang berdasarkan pribumi murni, secara teratur dan disesuaikan dengan masyarakat desa, yang dihubungkan erat pada pendidikan Islam yang sudah ada.
Jumat, 24 Desember 2010

LINGKUNGAN HIDUP DAN KELESTARIANNYA


A.      Hubungan Manusia dengan Lingkungan
Manusia mendapatkan unsur-unsur yang diperlukan dalam hidupnya dari lingkungan. Makin tinggi budaya makin ragam kebutuhan hidupnya. Makin besar kebutuhannya yang diambil  dari lingkungan, maka berarti makin besar perhatian manusia terhadap lingkungan.
Perhatian dan pengaruh manusia terhadap lingkungan makin meningkat pada zaman teknologi maju. Masa ini manusia mengubah lingkungan hidup alami menjadi lingkungan hidup binaan. Eksploitasi sumber daya alam makin meningkat untuk memenuhi kebutuhan dasar industri. Sebaliknya hasil sampingan dari industri dari asap dan limbah mulai menurunkan kualitas lingkaungan hidup. Manusia merupakan komponen biotik lingkungan yang memiliki daya pikir dan daya nalar teringgi dibandingkan makhluk lainnya. Disini terlihat jelas bahwa manusia merupakan komponen biotik lingkungan yang aktif. Hal ini disebabkan manusia dapat secara aktif mengelola dan mengubah ekosistem sesuai  dengan apa yang dikehendaki. Kegiatan manusia ini dapat menimbulkan bermacam-macam gejala.
Kamis, 25 November 2010

UPAYA PENINGKATAN FUNGSI TRADISIONAL PESANTREN



A.    Pendahuluan
Dalam proses belajar mengajarnya pondok pesantren Darut Tauhid ini, mengabungkan dua kurikulum sekaligus. Yaitu kurikulum yang dicanagkan oleh Departemen Agama yang meliputi tingkat Tsanawiyah Umum dan tingkat Aliyah Umum. Serta kurikulum pesantren yang meliputi tingkat Ibtidaiyyah Diniyah, tingkat Tsanawiyah Diniyah, dan tingkat Aliyah Diniyah.
Inilah yang melatar belakangi penulis untuk meneliti lebih lanjut, apakah dengan penggabungan kurikulum tersebut mengurangi nilai-nilai atau fungsi tradisional pesantren yang ada di dalamnya, atau justru menjadikan santrinya lebih unggul dalam berbagai hal, dan bagaimanakah pondok pesantren Darut Tauhid  dalam pelaksanaanya, mengabungkan dua kurikulum tersebut?
Rabu, 03 November 2010

PERAN GURU DALAM PROSES PENDIDIKAN



Efektivitas dan efisien belajar individu di sekolah sangat bergantung kepada peran guru. Abin Syamsuddin (2003) mengemukakan bahwa dalam pengertian pendidikan secara luas, seorang guru yang ideal seyogyanya dapat berperan sebagai :
  1. Konservator (pemelihara) sistem nilai yang merupakan sumber norma kedewasaan;
  2. Inovator (pengembang) sistem nilai ilmu pengetahuan;
  3. Transmitor (penerus) sistem-sistem nilai tersebut kepada peserta didik;
  4. Transformator (penterjemah) sistem-sistem nilai tersebut melalui penjelmaan dalam pribadinya dan perilakunya, dalam proses interaksi dengan sasaran didik;
  5. Organisator (penyelenggara) terciptanya proses edukatif yang dapat dipertanggungjawabkan, baik secara formal (kepada pihak yang mengangkat dan menugaskannya) maupun secara moral (kepada sasaran didik, serta Tuhan yang menciptakannya).

STRUKTUR SOSIAL DI PESANTREN



Di kalangan masyarakat santri, figur kiai, secara umum kerap dipersepsikan sebagai pribadi yang baik dan merupakan cerminan tradisi keilmuan dan kepemimpinan, ‘alim, menguasai ilmu agama (tafaqquh fi al-din) dan mengedepankan penampilan perilaku berbudi yang patut diteladani. Semakin tinggi tingkat kealiman dan rasa tawadlu’ kiai akan semakin tinggi pula derajat penghormatan yang diberikan santri dan masyarakat.
Sebaliknya, derajat penghormatan umat kepada kiai akan berkurang seiring dengan minimnya penguasaan ilmu dan rendahnya rasa tawadlu’ pada dirinya, sehingga tampak tak berwibawa lagi dihadapan umatnya atau masyarakat dan juga santrinya.Konsepsi kewibawaan ini telah mendifinisikan fungsinya menjadi etika normatif dunia pesantren, yang oleh budayawan Mohamad Sobari disebut sebagai tipe kewibawaan tradisional.
Jumat, 29 Oktober 2010

PESANTREN SEBAGAI SUBKULTUR

Pengakuan bahwa pesantren adalah sebuah subkultur sebelumnya belum merata dimiliki oleh kalangan pesantren sendiri. Penggunaan istilah ini bagi lembaga masyarakat harus senantiasa diingat, bahwa penggunaan istilah itu sendiri masih usaha pengenalan identitas kulturil yang dilakukan dari luar kalangan pesantren, bukan dari kalangan pesantren itu sendiri. Pendekatan ilmiah terbaik untuk mengenal hakekat sebuah lembaga kemasyarakatan adalah pendekatan naratif. Terlepas dari kenyataan adanya perwatakan subkulturil dalam diri pesantren jika ditinjau dari luar, sikap berhati-hati meski diutamakan dalam mempergunakannya. Penggunaan istilah itu bagi pesantren, jika dilakukan dengan hati-hati akan menghasilkan anggapan yang tidak akan jauh menyimpang dari hasil suatu penelitian empiris yang dilakukan secara seksama dan mendalam.

Visitor Location

About Me

Silvia Nur Dhania
Terima kasih teman-teman telah berkunjung ke Blog saya.. Semoga bermanfaat bagi teman-teman dan begitupun dengan saya.. jng lupa comment ya.. ^_^
Lihat profil lengkapku

Pengikut

Copyrigh @ 2010 Silvia Nurdhania. Diberdayakan oleh Blogger.